Assalamualaikum Wr.Wb.

PATOS, ETOS, LOGOS. Selamat berkunjung ke Blog kami, " Komunitas Penyuluh Agama Islam Kota Cilegon" semoga kita bisa berbagi, mencari, dan beramal.

Selasa, 23 Agustus 2011

Quo Vadis Peran dan Fungsi Penyuluh Agama Islam Fungsional



By. Ujang Jaenal Mutakin ( Penyuluh Agama Islam Kota Cilegon )


PENGANTAR
Kementerian Agama, dalam setiap lini dan tatarannya, memiliki posisi dan tugas menjadi fasilitator dalam membangun iklim keagamaan yang kondusif bagi perkembangan masyarakat yang dinamis, progresif, toleran dan damai di atas dasar nilai keagamaan dan kekayaan budaya yang berkeadaban (Sudijono: 2000). Untuk menjabarkan tugas itu, maka Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 1 Tahun 2001 telah menggariskan fungsi Departemen Agama meliputi empat masalah pokok, yaitu : Pertama, memperlancar pelaksanaan pembangunan di bidang keagamaan. Kedua, membina dan mengkoordinasikan pelaksanaan tugas serta administrasi kementerian. Ketiga, melaksanakan penelitian dan pengembangan terapan pendidikan dan pelatihan tertentu dalam rangka mendukung kebijakan di bidang keagamaan. Keempat, melaksanakan pengawasan fungsional.
Dalam usaha mengimplementasikan fungsi di atas, maka penyuluhan agama Islam merupakan salah satu bentuk satuan kegiatan yang memiliki nilai strategis, khususnya dalam menjalankan fungsi memperlancar pelaksanaan pembangunan di bidang keagamaan. Kemudian, untuk menjalankan penyuluhan ini, pemerintah telah melakukan reposisi kedudukan dan fungsi penyuluh, berdasarkan Keputusan Presiden No. 87 Tahun 1999, yaitu yang menempatkan penyuluh Dalam Keppres itu disebutkan bahwa Rumpun Keagamaan adalah rumpun jabatan fungsional Pegawai Negeri Sipil yang tugasnya berkaitan dengan penelitian, peningkatan atau pengembangan konsep, teori, dan metode operasional serta pelaksanaan kegiatan teknis yang berhubungan dengan pembinaan rohani dan moral masyarakat sesuai dengan agama yang dianutnya. Keppres ini kemudian dijabarkan dalam Keputusan Bersama Meteri Agama dan Kepala Badan Kepegawaian Negara no: 574 tahun 1999 dan no: 178 Tahun 1999 tentang petunjuk pelaksanaan jabatan fungsional Penyuluh Agama dan Angka Kreditnya.
Jadi, berdasarkan Keppres No: 87/1999 ini, berarti bahwa Penyuluh Agama Islam secara de-jure memiliki kedudukan yang sama dengan jabatan fungsional lainnya, seperti; peneliti, dosen/guru, widyaiswara, dokter, pengawas sekolah, akuntan, pustakawan, penyuluh KB, penyuluh pertanian dan sebagainya (Departemen Agama RI Sekretariat Jenderal Biro Kepegawaian: 1999).
Namun demikian, tidak dipungkiri bahwa secara de facto, Penyuluh Agama Islam yang menjadi pelaksana teknis program penyuluhan di masyarakat, sejauh ini masih dihadapkan pada sejumlah problem, sebagaimana sejumlah problem yang terjadi dalam program penyuluhan.

PENGERTIAN PENYULUH AGAMA
Secara bahasa “penyuluh” merupakan arti dari kata bahasa Inggris “counseling”, yang sering diterjemahkan dengan “menganjurkan atau menasehatkan”.[1] Dilingkungan Kementerian Agama, ada namanya Penyuluh Agama pada Kantor Urusan Agama Kecamatan.
Kata penyuluh disini, mengandung arti “penerangan”, maksudnya, “penyuluh agama memiliki tugas dan kewajiban menerangkan segala sesuatu yang berkaitan dengan agama, hukum halal haram, cara, syarat dan rukun dari suatu pelaksanaan ritual tertentu, pernikahan, zakat, keluarga sakinah, kemasjidan dan lain sebagainya”.[2]
Adapun yang dimaksud dengan penyuluh agama sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Agama RI Nomor 791 tahun 1985, adalah :
Pembimbing umat beragama dalam rangka pembinaan mental, moral dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,  dan  Penyuluh Agama Islam, yaitu pembimbing umat Islam dalam rangka pembinaan mental, moral dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT, serta menjabarkan segala aspek pembangunan melalui pintu dan bahasa agama”.[3]
Sedangkan penyuluh agama yang berasal dari PNS (sebagaimana yang diatur dalam keputusan MENKOWASBANGPAN NO. 54/KP/MK.WASPAN/9/1999), adalah :  “Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas dan tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat berwenang untuk melaksanakan bimbingan atau penyuluh agama dan pembangunan kepada masyarakat melalui bahasa agama”.[4]
Dengan demikian, penyuluh agama Islam adalah para juru penerang penyampai pesan bagi masyarakat mengenai prinsip-prinsip dan etika nilai keberagamaan yang baik. Disamping itu penyuluh agama Islam merupakan ujung tombak dari Kementerian Agama dalam pelaksanaan tugas membimbing umat Islam dalam mencapai kehidupan yang bermutu dan sejahtera lahir bathin. Dan hasil akhir yang ingin dicapai,  pada hakekatnya ialah terwujudnya kehidupan masyarakat yang memiliki pemahaman mengenai agamanya secara memadai yang ditunjukkan melalui pengamalannya yang penuh komitmen dan konsisten seraya disertai wawasan multi kultural  untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang harmonis dan saling menghargai satu sama lain.

DASAR HUKUM
1.      Keputusan Bersama Menteri Agama RI dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 574 Tahun 1999 dan Nomor 178 Tahun 1999, tentang jabatan fungsional Penyuluh Agama dan Angka kredtnya.
2.      Keputusan Menteri Negara Koordinator Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara, Nomor 54/KEP/MK.WASPAN/9/1999, tentang jabatan fungsional Penyuluh Agama dan Angka kreditnya, disebutkan bahwa tugas pokok Penyuluh Agama adalah melakukan dan mengembangkan kegiatan bimbingan atau penyuluhan agama dan pembangunan melalui bahasa agama.

PERAN DAN FUNGSI PENYULUH AGAMA
Dalam keputusan MENKOWASBANGPAN No. 54/KEP/MK.WASPAN/ 9/1999 Tanggal 30 Seeptember 1999 tentang jabatan fungsional disebutkan bahwa penyuluh agama adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang diberi tugas, wewenang, tanggung jawab dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan bimbingan atau penyuluhan agama dan pembangunan melalui bahasa agama.
Berdasarkan keputusan di atas, maka penyuluh agama merupakan orang atau tokoh agama yang sangat berperan dalam membina umat beragama guna meningkatkan keimanan ketakwaan dan kerukunan umat beragama serta memperkokoh NKRI.
Karena perannya yang sangat penting, sejak awal keberadaannya, penyuluh agama dijadikan sebagai ujung tombak Kementerian Agama (dulu Departemen Agama) dalam melaksanakan penerangan agama di tengah pesatnya dinamika perkembangan masyarakat di Indonesia.

IDENTIFIKASI PROBLEM PENYULUH AGAMA
Problem aparat Kementerian Agama pada umumnya dan khususnya Penyuluh Agama Islam ( PAI ) masih menghadapi persoalan sikap mental dan pengetahuan serta keterampilan, seperti: 1) budaya kerja lemah, kurang inisiatif dan lebih banyak menunggu perintah, dan kurang kesungguhan dalam pekerjaan, 2) pengetahuan dan kesadaran terhadap tugas dan misi institusi masih kurang, 3) sikap amanah dan saling percaya (trust) lemah, 4) budaya pamrih berlebihan, 5) orientasi pada pencapaian hasil dalam pelaksanaan tugas masih kurang, 6) kurang orientasi pada kepuasan jama’ah sasaran/binaan (customer), akibat kepekaan dan empati terhadap keutuhan stakehorders yang msih rendah, 7) minat untuk menambah pendidikan formal meningkat, tetapi belum diikuti kesadaran pemanfaatan pengetahuan baru dalam menjalankan tugas, lebih banyak tenaga yang kurang memiliki keahlian (unskilled), 9) gagap teknologi, tetapi semangat untuk pengadaan teknologi baru tinggi, dan 10) pemanfaatan informasi baru dalam pelaksanaan tugas masih rendah.
Reposisi penyuluh sampai sekarang telah berjalan kurang lebih sepuluh tahun. Dalam proses perjalanan sebuah perbaikan, tentu waktu sepuluh tahun  ini bisa dibilang masih dalam tahap proses penataan stake holder penyuluhan.
Tanpa menafikan usaha-usaha penataan kelembagaan dari berbagai stake holder yang ada, kita melihat ada tiga persoalan utama yang masih dihadapi dalam implementasi penyuluhan, yaitu: permasalahan organisatoris / structural,  permasalahan manajerial / administratif,  dan permasalahan sumber daya penyuluh.
Aspek Struktural/Organisatoris
Dalam aspek struktural, penyuluhan agama Islam dihadapkan pada sentralisasi kebijakan yang masih terkonsentrasi di tingkat pusat. Akibatnya, secara struktural Bidang Penamas di tingkat Kanwil Kemenag dan apalagi tingkat Kankemenag sebagai pihak yang berkompeten langsung mengampu program penyuluhan sampai dan bersentuhan langsung dengan customer (kelompok binaan) memang diberi kesempatan merencanakan program dan mengorganisir sumber daya penyuluh. Namun demikian, kewenangan “final” untuk memutuskan dapat atau tidaknya program penyuluhan itu dilaksanakan, khususnya menyangkut pembiayaannya tetap berada di tingkat pusat. Di samping itu, kemampuan perencanaan program di Bidang Penamas Kanwil Depag sendiri masih kurang. Rapat Kerja Daerah setiap tahun yang menjadi forum sangat penting dalam perumusan program di tingkat Kanwil/Kandepag umumnya berjalan sebagai forum “ketok palu” saja terhadap rumusan program yang sudah ada yang diambil dari tahun sebelumnya.
Karena itu, Bidang Penamas Kanwil dan Kandepag, dapat diibaratkan masih sebatas sebagai “pekerja” yang belum memiliki kemampuan untuk merumuskan kebijakan-kebijakan strategis dan program-program penyuluhan yang prospektif.
Permasalahan struktural di atas menyebabkan manajerial di tingkat Kanwil dan Kankemenag kurang dapat berjalan secara efektif dan antisipatif sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Bahkan, manajerial Bidang Penamas di tingkat Kanwil Depag dan Kandepag lebih cenderung diposisikan diri atau kemungkinan memposisikan diri sebagai “pekerja” pusat atau kepanjangan tangan dari pusat.
Aspek Manajerial/Administratif
Menurut John. D Millet dalam buku Management in the public service manajemen adalah proses pembimbingan dan pemberian fasilitas terhadap pekerjaan orang-orang yang terorganisir dalam kelompok formil untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki. Menurut James A. F. Stoner, manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.  Manajemen  penyuluhan adalah proses pembimbingan dan pemberian fasilitas terhadap para penyuluh yang terorganisir dalam kelompok formil  ( PAF ) dalam mengelola penyuluh untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki. Adapun unsur-unsurnya meliputi : Perencanaan Penyuluhan : tahap ini meliputi membuat susunan materi dakwah yang akan disampaikan kepada Mad'u. dan juga membuat susunan acara yang akan dilakukan mulai dari awal hingga akhir acara tersebut. Pengorganisasian penyuluhan : tahap ini merupakan, tahap yang dimana segala anggota penyelenggara acara berkumpul bersama dan saling bekerja sama dengan harapan tujuan dakwah tersebut bisa sukses. Penggerakkan penyuluhan : tahap ini merupakan di mana segala anggota yang terlibat, menjalankan tugasnya masing-masing sesuai dengan perencanaan kegiatan dakwah yang telah dibuat bersama. Pengendalian/pengawasan : tahap ini merupakan suatu upaya mengatur jalannya acara, agar acara tersebut berjalan sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat bersama. Jadi situasi acaranya bisa terkendali. Evaluasi penyuluhan : tahap ini merupakan suatu upaya melihat hasil / feedback yang diberikan mad'u, setelah mad'u tersebut menerima pesan dakwah yang disampaikan oleh Da'I / Penyuluh.
Dalam aspek manajerial inilah masih banyak kelemahan yang terjadi dalam mengelola penyuluh dan kepenyuluhan, seperti : Kemampuan perencanaan program-program penyuluhan yang kreatif, inovatif dan proyektif di tingkat Kanwil dan Kandepag masih lemah. Pengelolaan sumber daya penyuluh belum efektif.  Belum efektifnya pelaksanaan pelaporan dan evaluasi program yang dapat menjadi dasar pengembangan program secara berkelanjutan. Frekuensi dan kesempatan pengembangan dan pelatihan yang sangat terbatas dan belum efektif. Belum adanya peluang atau kesempatan pemfasisilitasian, khususnya pembiayaan (beasiswa) untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi.  Belum adanya biaya operasional pelaksanaan penyuluhan di lapangan.

Aspek Sumber Daya Penyuluh
            Penyuluh Agama Islam (PAI) dalam proses penyuluhan adalah subyek yang menentukan keberhasilan tujuan dan target penyuluhan. Namun demikian, sementara ini sumber daya penyuluh dihadapkan pada beberapa persoalan yang menjadi titik lemah terutama masalah Kompetensi. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (WJS Purwadarminta) kompetensi berarti (kewenangan) kekuasaan untuk menentukan atau memutuskan sesuatu hal. Pengertian dasar kompetensi (competency) yakni kemampuan atau kecakapan.
Dalam konteks Penyuluh, menurut hemat penulis, kelemahan ini  minimal terdiri dari empat kompetensi dasar, yaitu Kompetensi Dakwahtologis, Kompetensi Profesional, Kompetensi Kepribadian dan Kompetensi Sosial. 
Kompetensi Dakwahtologis.
Kompetensi Dakwahtologis, adalah kompetensi yang berkaitan dengan unsur-unsur pelaksanaan penyuluhan, seperti Lemahnya pemahaman para penyuluh terhadap konsep dasar penyuluhan, pendekatan penyuluhan, teknik-teknik penyuluhan dan teori-teori penyuluhan. Implementasi pelaksanaan penyuluhan cenderung bersifat formalistik dan strukturalistik. Para penyuluh agama belum memahami secara komprehensif pedoman operasional penyuluhan, misalnya menyangkut petunjuk teknis jabatan fungsional, materi bimbingan dan penyuluhan, pedoman identifikasi potensi wilayah, pedoman identifikasi kebutuhan sasaran, pedoman penilaian angka kredit, dan pedoman-pedoman lainnya. Metode pelaksanaan penyuluhan lebih cenderung bersifat konvensional, belum partisipatif dan transformatif.   Belum menguasai media penyuluhan,  psikologi penyuluhan, manajemen penyuluhan dan  terutama aspek metodologi penyuluhan, yaitu cara yang dilalui seorang penyuluh dalam menyampaikan pesan penyuluhannya, atau cara seorang penyuluh dalam penerapan pendekatan penyuluhan. (http://pandidikan.blogspot.com/2011/03/definisi-metodologi-dakwah.html)
Lemahnya kemampuan metodologis para penyuluh dalam proses penyuluhan, dalam analisa penulis, setidaknya dapat dilihat dari proses pelaksanaan pembelajaran dalam penyuluhan masih cenderung menggunakan cara-cara konvensional, yaitu ceramah yang bersifat satu arah. Peserta penyuluhan belum mampu terlibat secara partisipatoris sehingga forum pembelajaran itu statis dan monoton. Untuk membantu pemahaman dan kemampuan metodologis ini, sebenarnya dari Kementerian Pusat telah menerbitkan beberapa buku pedoman bagi para penyuluh. Tetapi, buku-buku pedoman itu lebih banyak berisi petunjuk teknis-administratif bagi para penyuluh dalam melaksanakan penyuluhan, seperti; petunjuk teknis jabatan fungsional, pedoman materi bimbingan dan penyuluhan, pedoman identifikasi potensi wilayah, pedoman identifikasi kebutuhan sasaran, pedoman penilaian angka kredit, dan sebagainya. Lebih dari itu, di samping sosialisasi berbagai juklak dan juknis itu belum efektif, para penyuluh sendiri sebagian besar belum membaca pedoman-pedoman itu. Disamping itu, menurut analisa penulis, lemahnya kemampuan Metodologis ini tidak terlepas dari kesalahan awal dalam proses recruitment, dimana semua latar belakang disiplin ilmu bisa mendaftar untuk jadi penyuluh agama fungsional.
Kompetensi Profesional Penyuluh
Istilah profesional pada umumnya adalah orang yang mendapat upah atau gaji dari apa yang dikerjakan, baik dikerjakan secara sempurna maupun tidak. (Martinis Yamin, 2007). Pekerjaan profesional ditunjang oleh suatu ilmu tertentu secara mendalam yang hanya mungkin diperoleh dari lembaga-lembaga pendidikan yang sesuai sehingga kinerjanya didasarkan kepada keilmuan yang dimilikinya yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Wina Sanjaya, 2008). Dalam pengertian lain, Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Dengan demikian seorang penyuluh perlu memiliki kemampuan khusus, kemampuan yang tidak mungkin dimiliki oleh orang yang bukan penyuluh.  Profesionalisme penyuluh adalah kemampuan penyuluh untuk melakukan tugas pokoknya meliputi kemampuan merencanakan, melakukan, dan melaksanakan evaluasi penyuluhan. Untuk melaksanakan tugasnya tersebut, seorang penyuluh agama haruslah memiliki kualifikasi dan kompetensi tertentu, baik yang menyangkut kepribadian, pengetahuan, sikap, dan keterampilan profesional. Penyuluh agama dan juga penyuluh-penyuluh bidang lainnya menurut Yoder (1999) harus harus memiliki kompetensi sebagai berikut :
1)      Kompetensi administrasi, yakni tingkat kemampuan yang mencakup aktivitas di dalam merumuskan tujuan program bimbingan dan penyuluhan
2)      Kompetensi perencanaan program, yakni tingkat kemampuan yang mencakup aktivitas dalam penentuan kebutuhan sasaran (client/konseli) program bimbingan dan penyuluhan, penentuan tujuan dari program, identifikasi potensi masyarakat, perencanaaan program, pengembangan jadwal kegiatan penyuluhan.
3)      Kompetensi pelaksanaan program, yakni tingkat kemampuan yang mencakup aktivitas: kepemimpinan atau pemanduan di dalam perencanaan dan pelaksaan program,
4)      Kompetensi pengajaran, yakni tingkat kemampuan yang mencakup aktivitas pengembangan perencanaan pengajaran, penyajian informasi, kegiatan bimbingan atau konseling, pelaksanaan prinsip pengajaran, perencanaan dan pengorganisasian kunjungan lapangan.
5)      Kompetensi komunikasi, yakni kemampuan yang mencakup; mengontrol sikap dalam berkomunikasi, penyiapan publikasi dan penggunaan alat komunikasi, membangun komunikasi diantara dan sasaran serta pihak terkait.
6)      Kompetesi pemahaman perilaku manusia, yakni kemampuan yang mencakup: menilai persepsi sosial, pengenalan budaya sasaran, identifikasi kelompok potensial dalam masyarakat sasaran, pengenalan perbedaan peta kognitif dan kelompok umur sasaran, dan mengidentifikasi dan mengenal perilaku social
7)      Kompetensi memelihara profesionalisme, yakni kemampuan yang mencakup: mengidentifikasi peluang untuk meningkatkan profesionalisme, membangun integritas kepribadian dan moral, membangun integritas intelektual, dan membangun rencana untuk pengembangan profesionalisme
8)      Kompetensi evaluasi, yakni kemampuan yang mencakup; penggunan pendekatan dan strategi dalam kerja penyuluhan, mengidentifikasi yang dibutuhkan untuk penelitian, kerjasama dengan lembaga penelitian, mempersepsi dan menggunakan temuan-temuan penelitian.
Kompetensi Kepribadian
Menurut M.A.W Bouwer, Kepribadian adalah corak tingkah laku social yang meliputi corak kekuatan, dorongan, keinginan, opini dan sikap-sikap seseorang. Menurut Cuber,  Kepribadian adalah gabungan keseluruhan dari sifat-sifat yang tampak dan dapat dilihat oleh seseorang. KH. Drs. Wahfiudin SE, MBA (Wakil Talqin TQN PP. Suryalaya) menyampaikan dalam CD Tematiknya yang berjudul “Mengenal Diri Menggapai Illahi” bahwa kepribadian merupakan interaksi dari kualitas-kualitas nafs, qalb, akal dan bashirah, interaksi antara jiwa, hati, akal dan qalbu (hati nurani).
Kepribadian seorang penyuluh, merupakan salah satu hal terpenting dalam penyuluhan, kepribadian yang baik haruslah senantiasa dimiliki oleh seorang penyuluh . Adapun akhlak dan karakter yang seharusnya dimiliki oleh para penyuluh, seperti yang dijelaskan Allah SWT di dalam banyak ayat di dalam beberapa tempat di dalam kitab-Nya yang mulia. Diantaranya adalah :  Aqidah yang benar dan kokoh, Akhlak yang mantap, Ibdah yang shahih, Kapasitas intelektual, Fisik yang sehat dan prima, Mampu mengendalikan nafsu,  Hidup teratur, Menjaga waktu,  Membawa manfaat bagi orang lain. Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan. Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik , Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa. Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri . Bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial- ekonomi. Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat
Kompetensi Sosial
Pakar psikologi pendidikan Gadner (1983) menyebut kompetensi sosial itu sebagai social intellegence atau kecerdasan sosial. Kecerdasan sosial merupakan salah satu dari sembilan kecerdasan (logika, bahasa, musik, raga, ruang, pribadi, alam, dan kuliner) yang berhasil diidentifikasi oleh Gadner.
Kompetensi Sosial Kemasyarakatan berhubungan dengan kemampuan penyuluh sebagai anggota masyarakat dan sebagai makhluk sosial, meliputi: (1) kemampuan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman sejawat untuk meningkatkan kemampuan profesional; (2) kemampuan untuk mengenal dan memahami fungsi-fungsi setiap lembaga kemasyarakatan (3) kemampuan untuk menjalin kerja sama baik secara individual maupun secara kelompok. (4) Bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial- ekonomi (5) Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama masyarakat (6) Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya (7) Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain
Dari penjelasan diatas, kesimpulan Secara detail, beberapa problem penyuluhan yang perlu dicermati secara kritis antara lain sebagai berikut :
1)      Penentuan program-program penyuluhan masih bersifat sentralistik.
2)      Kemampuan perencanaan program-program penyuluhan yang kreatif, inovatif dan proyektif di tingkat Kanwil dan Kandepag masih lemah.
3)      Pengelolaan sumber daya penyuluh belum efektif.
4)      Lemahnya pemahaman para penyuluh terhadap konsep dasar penyuluhan, pendekatan penyuluhan, teknik-teknik penyuluhan dan teori-teori penyuluhan.
5)      Implementasi pelaksanaan penyuluhan cenderung bersifat formalistik dan strukturalistik.
6)      Para penyuluh agama belum memahami secara komprehensif pedoman operasional penyuluhan, misalnya menyangkut petunjuk teknis jabatan fungsional, materi bimbingan dan penyuluhan, pedoman identifikasi potensi wilayah, pedoman identifikasi kebutuhan sasaran, pedoman penilaian angka kredit, dan pedoman-pedoman lainnya.
7)      Metode pelaksanaan penyuluhan lebih cenderung bersifat konvensional, belum partisipatif dan transformatif.
8)      Belum efektifnya pelaksanaan pelaporan dan evaluasi program yang dapat menjadi dasar pengembangan program secara berkelanjutan.
9)      Kemampuan penyuluh dalam hal penguasaan teknologi pendukung masih lemah.
10)  Frekuensi dan kesempatan pengembangan dan pelatihan yang sangat terbatas dan belum efektif.
11)  Belum adanya peluang atau kesempatan pemfasisilitasian, khususnya pembiayaan (beasiswa) untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi.
12)  Belum adanya biaya operasional pelaksanaan penyuluhan di lapangan.
13)  Belum dimanfaatkannya perangkat teknologi informasi dan komunikasi yang memadai untuk mendukung proses penyuluhan.
14)  Lemahnya data base seputar kelompok sasaran penyuluhan.

SOLUSI OPTIMALISASI KEDEPAN BAGI PENYULUH
Beberapa problem di atas, adalah masalah besar yang kemungkinan kita sulit untuk darmana harus memulai langkah pembenahannya. Lepas dari itu, yang terpenting adalah bahwa beberapa persoalan di atas tidak harus menjadi hambatan dalam menjalankan penyuluhan, tetapi tantangan nyata yang perlu dicermati dan dikritisi secara kreatif dan antisipatif. Dalam upaya ini, maka langkah antisipatif dan strategis yang dapat dilakukan mulai dari sekarang (jangka pendek) adalah memaksimalkan pengelolaan sumber daya penyuluh secara reguler dan berkelanjutan. Menunggu adanya pembenahan kebijakan dari pusat adalah pekerjaan yang menghabiskan energi (tetapi mutlak diperlukan), sementara kemungkinan hasilnya terlalu sulit untuk diprediksikan.
Karena itu, tantangan langsung ke depan bagi penyuluh yang sebenarnya adalah diri penyuluh itu sendiri. Untuk itu, beberapa langkah praktis dalam upaya pemberdayaan penyuluh untuk keluar dari keterkungkungan problem internal kelembagaan penyuluh antara lain sebagai berikut :
  1. Memaksimalkan potensi kreatif penyuluh secara mandiri
  2. Menghilangkan budaya “menunggu dhawuh” dari atasan, tetapi kreatif menerobos peluang-peluang untuk mampu berkarya secara produktif.
  3. Mengefektifkan pengorganisian penyuluh di ditingkat kabupaten dan wilayah sebagai media yang paling strategis untuk melakukan proses pemberdayaan penyuluh, misalnya melalui kajian pustaka, kajian metodologis atau teknologis penyuluhan dan sebagainya.
  4. Membuka peluang kerja sama melalui kelompok kerja di tingkat Kandepag/Kanwil dengan lembaga-lembaga sosial keagamaan yang memiliki konsen dengan program penyuluhan khususnya atau pemberdayaan masyarakat pada umumnya.
Beberapa langkah di atas, barangkali masih bersifat normatif. Karena itu, setiap penyuluh perlu menterjemahkan secara kreatif sesuai dengan potensi dan peluang yang memungkinkan untuk diterobos baik secara mandiri maupun secara kolektif.  
Namun demikian, upaya pembenahan beberapa problem di atas, tentu akan lebih efektif sekiranya para pejabat di tingkat Kanwil dan Kandepag juga memiliki political will untuk melakukan pembehanan dalam mekanisme kepemimpinannya. Minimal para pejabat kita mampu menciptakan kondisi yang kompetitif untuk tumbuhnya budaya kerja yang bertanggung jawab, mengedepankan prestasi, transparansi, dan menghargai kreatifitas dan inovasi dari para penyuluh yang dapat memperkaya kualitas layanan proses penyuluhan.  
Akhirnya, semoga tulisan ini menjadi titik awal untuk melakukan kajian lebih intensif dalam upaya pembenahan penyuluhan secara reguler dan berkelanjutan. Semoga.























REFERENSI

Arifin (1976), Pokok-pokok pikiran tentang bimbingan dan penyuluhan agama. Jakarta: Bulan Bintang.
Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Bagian Proyek Peningkatan Tenaga Keagamaan Penyuluh Agama Tahun 2002 (2002), Petunjuk teknis jabatan fungsional Penyuluh Agama Islam, Jakarta, (Cet. Ke-3).
________ , Pedoman identifikasi wilayah Penyuluh Agama Islam, Jakarta
________, Pedoman identifikasi kebutuhan sasaran Penyuluh Agama Islam, Jakarta
________, Pedoman identifikasi pembentukan kelompok sasaran Penyuluh Agama Islam ahli, Jakarta
________, Pedoman penilaian Penyuluh Agama Islam, Jakarta
________, Pedoman penyusunan laporan Penyuluh Agama Islam (Panduan tugas Penyuluh Agama Islam), Jakarta
________, Pengembangan materi Penyuluh Agama Islam, Jakarta
________, Materi bimbingan dan penyuluhan bagi Penyuluh Agama Islam Ahli, Jakarta
Depertemen Agama RI Direktorat Jendaral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji (2000), Himpunan peraturan tentang jabatan fungsional penyuluh agama dan angka kreditnya, Jakarta.
Departemen Agama RI, Tehnik Evaluasi dan Pelaporan Penyuluhan Agama Islam,  2007
Departemen Agama RI, Operasional Penyuluh Agama, 1996/1997
Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Agama Dan Angka Kreditnya, 2000
Pusdiklat Tenaga Teknis Keagamaan, Jurnal Diklat Tenaga Teknis Keagamaan, 2006.
Pusdiklat Tenaga Teknis Keagamaan, Jurnal Diklat Tenaga Teknis Keagamaan, 2008
Romli (2001), Penyuluhan agama menghadapi tantangan baru, Jakarta: Bina Rena Pariwara.
Syuhada, Roosdi Ahmad (1988), Bimbingan dan konseling dalam masyarakat dan pendidikan luar sekolah, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.




[1] Depertemen Agama RI, Pedoman Penyuluhan Wakaf bagi Penyuluh Agama, Jakarta, Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI,  2010, hlm. 5
[2] Ibid, Hal 5
[3] Depertemen Agama RI, Panduan Tugas Penyuluh Agama Masyarakat, Jakarta, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat Penerangan Agama Islam,  2007, hlm. 8-9

[4] Ibid, Hal. 9

2 komentar: